Pages

Thursday, July 12, 2018

Menuai Berkah di Hari Kemenangan

Menuai Berkah di Hari Kemenangan



“Sebatang kayu daunnya rimbun
Lebat bunganya serta buahnya
Walaupun hidup seribu tahun
Bila tak sembahyang apa gunanya...”
“Dung...Dung...Dung...”suara bedug Isya menghentikan nyanyian Pak Aldi mengajari putrinya.
"Yuk, ambil air wudu!lKita pergi ke mushala untuk shalat Isya dan Tarawih,” ajak Pak Aldi kepada putri kesayangannya.
“Yah, mengapa shalat Isyanya di mushala?Kan biasanya berjamaah di rumah...” tanya Fitri penasaran.
“Shalat Tarawih itu apa, kok Fitri baru denger?” lanjutnya menyelidik.
“Sayang, khusus untuk Ramadhan, Fitri dan ayah salatnya di mushala. Shalat Tarawih itu dikerjakan hanya pada bulan Ramadan, apabila dilaksanakan dengan baik, maka akan mendapatkan pahala dari Allah,” Pak Aldi menjelaskan.
“Ayo, Yah!Aku ingin dapat pahala dari Allah,” ajak gadis lima tahun itu bersemangat.
Seruan azan Isya berkumandang menggema ke pelosok desa, mengajak kepada setiap makhluk bernyawa untuk bersujud memuji kebesaran-Nya. Binatang-binatang malam berhenti mendendangkan suara-suara khasnya. Mereka seolah mengerti arti seruan muazin. Mungkin tonggeret, kelelawar, katak di sawah pun, berdiam diri untuk sejenak memuji Sang Khalik dengan cara-cara yang berbeda yang manusia sendiri tidak mengetahuinya.
Fitri dan ayahnya telah tiba di musola. Para jamaah putri telah hadir bermukena putih, berwajah berseri.
“Fitri, jangan lupa masuk musola dahulukan kaki kanan dan untuk keluarnya dahulukan kaki kiri,” pesan ayahnya mengingatkan. Fitri mengangguk tersenyum.
Suasana musala berbeda dengan malam biasanya. Musala yang hanya ramai sekali setahun, yaitu di bulan Ramadan dan Idul Fitri saja. Sebenarnya sangat disayangkan, bahkan menyedihkan kedengarannya, Desa Pagerwojo tepatnya Dusun Krajan yang lebih dikenal dengan nama “Pagerwojo Kebon” ini tidak miskin dengan jumlah remaja putra maupun putri. Tetapi mengapa musala dibiarkan sepi dan tiada pernah azan berkumandang sepanjang hari? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul mengganggu Pak Aldi yang masih satu bulan pindah ke desa tersebut. Imam menyerukan iqomah pertanda shalat Isya dimulai. Semua jamaah merapatkan saf. Salat jamaah dilaksanakan dengan khusyuk. Semua hewan pun ikut diam memuji kebesaran Sang Ilahi.
Di tengah padang pasir, seorang laki-laki mondar-mandir mencari seseorang yang sangat ia khawatirkan. Padang pasir itu gersang, tak tampak sebatang pohon pun tumbuh di sana, yang ada hanya batu-batu besar dan perbukitan tandus. Laki-laki itu adalah Pak Aldi. Dalam kegalauannya, ia terduduk lemas, teringat peristiwa empat tahun silam, ketika ia tinggal di Jakarta bersama istri dan putrinya. Ia tidak ingin lagi kehilangan untuk kedua kalinya. Banjir Bandang yang telah memisahkan ia dan istri yang sangat dicintainya. Banjir  yang telah menenggelamkan rumah sekaligus merampas pendamping hidupnya.
“Tidak...jangaaaannnnn...!” teriak Pak Aldi memecah keheningan malam.
“Ayah bangun, ayah......!”Fitri menepuk-nepuk pipi ayahnya dengan kedua tangannya yang mungil.
Sang ayah membuka mata, ia berkeringat dingin. Dilihatnya putri tercintanya telah berdiri di hadapannya membawa segelas air putih. Buru-buru ia menghabiskan air putih itu, diraihnya tubuh mungil Fitri ke dalam pelukannya erat-erat hingga Fitri berontak karena kesulitan bernapas.
“Ayah kenapa, ayah mimpi buruk ya?" tanya Fitri.
Pak Aldi hanya mengangguk perlahan.
“Aha.....ayah pasti lupa berdoa sebelum tidur,” gadis kecil itu menebak sambil menari-narikan  telunjuk kanan di dekat pipinya.
Pak Aldi menatap lekat-lekat gadis kecil di hadapannya, wajahnya persis seperti ibunya. Rambutnya hitam bergelombang, mengingatkannya pada almarhumah istrinya. Terbersit dalam pikiran Pak Aldi, bahwa putrinya butuh sosok ibu yang menyayangi dengan tulus seperti ibu kandungnya. Tapi...tidak mungkin pula ia mengingkari janji setianya untuk sehidup semati, prinsip yang pernah ia ikrarkan bersama istrinya “Hidup sekali, mati sekali, menikah pun sekali.”
Jam dinding berdentang tiga kali  artinya waktu telah menunjukkan pukul 03.00.
“Sekarang biar  semangat, kita cuci muka terus makan sahur!” ajak Pak Aldi menurunkan Fitri dari pangkuannya.
“Makan sahur itu apa, Yah?”tanya Fitri.
“Oiya, ayah lupa belum menjelaskan,” sang ayah menggaruk-garuk kepala.
“Makan sahur itu makan di malam hari yang dilakukan ketika akan melakukan puasa,” tambahnya menjelaskan.
“Terus kalau puasa itu apa, Yah?” tanya Fitri manja.
Dengan senang hati Pak Aldi menjawab pertanyaan putrinya. Ia selalu tersenyum dan mengajarkan bersikap santun kepada siapa saja, termasuk kepada orang yang lebih muda darinya.
“Puasa itu berarti menahan diri untuk tidak makan, minum, marah atau hal-hal lain yang bisa membatalkan puasa, dimulai dari matahari terbit hingga waktu magrib,”kata Pak Aldi menjelaskan.
“Aku kan masih kecil, Yah, mana kuat berpuasa?”tanya Fitri.
“Fitri kan masih kecil, jadi Fitri sebaiknya belajar berpuasa,”sang ayah membelai rambut putrinya.
”Caranya, nanti kalau Fitri belum lapar, Fitri tahan dulu untuk tidak makan. Setelah merasa benar-benar lapar, baru Fitri boleh makan,”Fitri serius mendengarkan penjelasan ayahnya. Dengan tumis kangkung berlauk bandeng goreng, segelas susu, dan sebuah apel rasanya telah memenuhi syarat makanan empat sehat lima sempurna. Sebelum dan sesudah makan, tak lupa mereka berdoa agar makanan yang mereka makan menjadi berkah.
Waktu terus berlalu. Fitri sangat rajin belajar puasa. Dua hari pertama ia kuat menahan lapar hingga pukul sembilan, dua hari kedua pukul sepuluh, dua hari ketiga pukul sebelas hingga  selang dua hari berikutnya ia kuat menahan lapar satu jam bertambahnya.Hingga akhir Ramadhan Fitri telah berpuasa penuh selama dua belas hari. Selain itu setelah shalat berjamaah, ia selalu berdoa khusyuk, yang hanya Allah dan dia sendiri yang mengetahuinya. Ketika sang ayah bertanya tentang doanya, ia pun tak mau mengatakannya. Doa yang selalu ia rahasiakan.
Pagi itu Fitri dan ayahnya telah usai menunaikan salat Idul Fitri. Dengan wajah berseri, mereka pulang untuk merayakan hari kemenangan berdua di rumah sebelum akhirnya bersilaturahmi ke rumah para tetangga. Ketika Fitri membuka pagar halaman, tampak sosok wanita bergaun  dan berhijab putih berdiri membelakangi mereka. Pak Aldi seperti mengenali sosok wanita itu, tapi....tidak mungkin, mustahil ia adalah...
Mendengar langkah kedua ayah dan anak itu mendekat, wanita itu segera membalikkan badan. Dan... betapa terkejutnya Pak Aldi, bahwa wanita cantik itu berparas persis istrinya. Pak Aldi menggosok-gosok matanya untuk memastikan bahwa ia tidak sedang bermimpi, detak jantungnya berdetak kencang sekali ketika perempuan itu berjalan menuju ke arahnya. Ia mundur dua langkah dan masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sementara Fitri hanya berdiri terpaku memandangi keduanya dengan wajah tak mengerti.
"Ya...akulah Nawa, istrimu, ibunya Fitri, anak kita. Allah telah menyelamatkanku. Ini bukan mimpi, ini adalah kenyataan. Dan hari ini aku bahagia bisa berkumpul dengan keluargaku di hari kemenangan umat Islam," wanita itu tersenyum, Pak Aldi memeluk istrinya erat sekali. Sungguh kebahagiaan yang tiada pernah terkira, hari kemenangan bagi hamba-hamba-Nya yang ikhlas berpuasa dan beribadah terutama di bulan Ramadan. Doa Fitri yang ia rahasiakan telah dikabulkan oleh Tuhan.



No comments:

Post a Comment