Thursday, July 12, 2018

Menuai Berkah di Hari Kemenangan

Menuai Berkah di Hari Kemenangan



“Sebatang kayu daunnya rimbun
Lebat bunganya serta buahnya
Walaupun hidup seribu tahun
Bila tak sembahyang apa gunanya...”
“Dung...Dung...Dung...”suara bedug Isya menghentikan nyanyian Pak Aldi mengajari putrinya.
"Yuk, ambil air wudu!lKita pergi ke mushala untuk shalat Isya dan Tarawih,” ajak Pak Aldi kepada putri kesayangannya.
“Yah, mengapa shalat Isyanya di mushala?Kan biasanya berjamaah di rumah...” tanya Fitri penasaran.
“Shalat Tarawih itu apa, kok Fitri baru denger?” lanjutnya menyelidik.
“Sayang, khusus untuk Ramadhan, Fitri dan ayah salatnya di mushala. Shalat Tarawih itu dikerjakan hanya pada bulan Ramadan, apabila dilaksanakan dengan baik, maka akan mendapatkan pahala dari Allah,” Pak Aldi menjelaskan.
“Ayo, Yah!Aku ingin dapat pahala dari Allah,” ajak gadis lima tahun itu bersemangat.
Seruan azan Isya berkumandang menggema ke pelosok desa, mengajak kepada setiap makhluk bernyawa untuk bersujud memuji kebesaran-Nya. Binatang-binatang malam berhenti mendendangkan suara-suara khasnya. Mereka seolah mengerti arti seruan muazin. Mungkin tonggeret, kelelawar, katak di sawah pun, berdiam diri untuk sejenak memuji Sang Khalik dengan cara-cara yang berbeda yang manusia sendiri tidak mengetahuinya.
Fitri dan ayahnya telah tiba di musola. Para jamaah putri telah hadir bermukena putih, berwajah berseri.
“Fitri, jangan lupa masuk musola dahulukan kaki kanan dan untuk keluarnya dahulukan kaki kiri,” pesan ayahnya mengingatkan. Fitri mengangguk tersenyum.
Suasana musala berbeda dengan malam biasanya. Musala yang hanya ramai sekali setahun, yaitu di bulan Ramadan dan Idul Fitri saja. Sebenarnya sangat disayangkan, bahkan menyedihkan kedengarannya, Desa Pagerwojo tepatnya Dusun Krajan yang lebih dikenal dengan nama “Pagerwojo Kebon” ini tidak miskin dengan jumlah remaja putra maupun putri. Tetapi mengapa musala dibiarkan sepi dan tiada pernah azan berkumandang sepanjang hari? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul mengganggu Pak Aldi yang masih satu bulan pindah ke desa tersebut. Imam menyerukan iqomah pertanda shalat Isya dimulai. Semua jamaah merapatkan saf. Salat jamaah dilaksanakan dengan khusyuk. Semua hewan pun ikut diam memuji kebesaran Sang Ilahi.
Di tengah padang pasir, seorang laki-laki mondar-mandir mencari seseorang yang sangat ia khawatirkan. Padang pasir itu gersang, tak tampak sebatang pohon pun tumbuh di sana, yang ada hanya batu-batu besar dan perbukitan tandus. Laki-laki itu adalah Pak Aldi. Dalam kegalauannya, ia terduduk lemas, teringat peristiwa empat tahun silam, ketika ia tinggal di Jakarta bersama istri dan putrinya. Ia tidak ingin lagi kehilangan untuk kedua kalinya. Banjir Bandang yang telah memisahkan ia dan istri yang sangat dicintainya. Banjir  yang telah menenggelamkan rumah sekaligus merampas pendamping hidupnya.
“Tidak...jangaaaannnnn...!” teriak Pak Aldi memecah keheningan malam.
“Ayah bangun, ayah......!”Fitri menepuk-nepuk pipi ayahnya dengan kedua tangannya yang mungil.
Sang ayah membuka mata, ia berkeringat dingin. Dilihatnya putri tercintanya telah berdiri di hadapannya membawa segelas air putih. Buru-buru ia menghabiskan air putih itu, diraihnya tubuh mungil Fitri ke dalam pelukannya erat-erat hingga Fitri berontak karena kesulitan bernapas.
“Ayah kenapa, ayah mimpi buruk ya?" tanya Fitri.
Pak Aldi hanya mengangguk perlahan.
“Aha.....ayah pasti lupa berdoa sebelum tidur,” gadis kecil itu menebak sambil menari-narikan  telunjuk kanan di dekat pipinya.
Pak Aldi menatap lekat-lekat gadis kecil di hadapannya, wajahnya persis seperti ibunya. Rambutnya hitam bergelombang, mengingatkannya pada almarhumah istrinya. Terbersit dalam pikiran Pak Aldi, bahwa putrinya butuh sosok ibu yang menyayangi dengan tulus seperti ibu kandungnya. Tapi...tidak mungkin pula ia mengingkari janji setianya untuk sehidup semati, prinsip yang pernah ia ikrarkan bersama istrinya “Hidup sekali, mati sekali, menikah pun sekali.”
Jam dinding berdentang tiga kali  artinya waktu telah menunjukkan pukul 03.00.
“Sekarang biar  semangat, kita cuci muka terus makan sahur!” ajak Pak Aldi menurunkan Fitri dari pangkuannya.
“Makan sahur itu apa, Yah?”tanya Fitri.
“Oiya, ayah lupa belum menjelaskan,” sang ayah menggaruk-garuk kepala.
“Makan sahur itu makan di malam hari yang dilakukan ketika akan melakukan puasa,” tambahnya menjelaskan.
“Terus kalau puasa itu apa, Yah?” tanya Fitri manja.
Dengan senang hati Pak Aldi menjawab pertanyaan putrinya. Ia selalu tersenyum dan mengajarkan bersikap santun kepada siapa saja, termasuk kepada orang yang lebih muda darinya.
“Puasa itu berarti menahan diri untuk tidak makan, minum, marah atau hal-hal lain yang bisa membatalkan puasa, dimulai dari matahari terbit hingga waktu magrib,”kata Pak Aldi menjelaskan.
“Aku kan masih kecil, Yah, mana kuat berpuasa?”tanya Fitri.
“Fitri kan masih kecil, jadi Fitri sebaiknya belajar berpuasa,”sang ayah membelai rambut putrinya.
”Caranya, nanti kalau Fitri belum lapar, Fitri tahan dulu untuk tidak makan. Setelah merasa benar-benar lapar, baru Fitri boleh makan,”Fitri serius mendengarkan penjelasan ayahnya. Dengan tumis kangkung berlauk bandeng goreng, segelas susu, dan sebuah apel rasanya telah memenuhi syarat makanan empat sehat lima sempurna. Sebelum dan sesudah makan, tak lupa mereka berdoa agar makanan yang mereka makan menjadi berkah.
Waktu terus berlalu. Fitri sangat rajin belajar puasa. Dua hari pertama ia kuat menahan lapar hingga pukul sembilan, dua hari kedua pukul sepuluh, dua hari ketiga pukul sebelas hingga  selang dua hari berikutnya ia kuat menahan lapar satu jam bertambahnya.Hingga akhir Ramadhan Fitri telah berpuasa penuh selama dua belas hari. Selain itu setelah shalat berjamaah, ia selalu berdoa khusyuk, yang hanya Allah dan dia sendiri yang mengetahuinya. Ketika sang ayah bertanya tentang doanya, ia pun tak mau mengatakannya. Doa yang selalu ia rahasiakan.
Pagi itu Fitri dan ayahnya telah usai menunaikan salat Idul Fitri. Dengan wajah berseri, mereka pulang untuk merayakan hari kemenangan berdua di rumah sebelum akhirnya bersilaturahmi ke rumah para tetangga. Ketika Fitri membuka pagar halaman, tampak sosok wanita bergaun  dan berhijab putih berdiri membelakangi mereka. Pak Aldi seperti mengenali sosok wanita itu, tapi....tidak mungkin, mustahil ia adalah...
Mendengar langkah kedua ayah dan anak itu mendekat, wanita itu segera membalikkan badan. Dan... betapa terkejutnya Pak Aldi, bahwa wanita cantik itu berparas persis istrinya. Pak Aldi menggosok-gosok matanya untuk memastikan bahwa ia tidak sedang bermimpi, detak jantungnya berdetak kencang sekali ketika perempuan itu berjalan menuju ke arahnya. Ia mundur dua langkah dan masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sementara Fitri hanya berdiri terpaku memandangi keduanya dengan wajah tak mengerti.
"Ya...akulah Nawa, istrimu, ibunya Fitri, anak kita. Allah telah menyelamatkanku. Ini bukan mimpi, ini adalah kenyataan. Dan hari ini aku bahagia bisa berkumpul dengan keluargaku di hari kemenangan umat Islam," wanita itu tersenyum, Pak Aldi memeluk istrinya erat sekali. Sungguh kebahagiaan yang tiada pernah terkira, hari kemenangan bagi hamba-hamba-Nya yang ikhlas berpuasa dan beribadah terutama di bulan Ramadan. Doa Fitri yang ia rahasiakan telah dikabulkan oleh Tuhan.



Valentine Bukan untuk Kita

Valentine Bukan untuk Kita



Pagi-pagi aku telah tiba di sekolah. Kelas-kelas sepi, tak tampak seorang pun kutemui di sepanjang koridor. Setelah  aman, aku berbalik menuju ruang guru. Kulihat Bu Susiah, guru agama Islam turun dari Avansa. Beliau menuju kantor, jantungku berdebar kencang. Usai mengucap salam, kuberanikan diri mengutarakan maksud hati. Alhamdulillah, aku girang bukan kepalang, ternyata Bu Susiah menyambut baik usulku.
Aku segera ke kelas, lega perasaanku. Kuharap semua berjalan sesuai keinginan. Aku tak mau teman-teman terjerumus oleh Valentine. Sejak kemarin, tak kulihat Faisal di kelas. Mungkin ia  sibuk mempersiapkan lomba karya ilmiah untuk mewakili sekolah ke tingkat provinsi.
“Hebat...!Hebat...!” tepuk tangan Zahra, merusak konsentrasiku membaca buku. Kulihat Zahra, Debora, dan Zanet berjalan mendekat. Mereka tersenyum getir.
“Lihat, teman-teman!Ternyata gadis sok suci ini, telah melaporkan rencana Valentine kita kepada Bu Susiah!” tuding Zahra kasar, nyaris mengenai hidung.
Serentak aku berdiri dan membuang tangannya. “Sungguh kau tak sopan, Zahra!”
“Dasar tukang adu!” Zanet menimpali, “kalau kau tak suka dengan rencana kami, kau tak usahlah ikut!Bukan malah mengadukan kami ke Bu Susiah!” Kata-kata Zanet menusuk hati, membangkitkan amarahku yang membuncah.
“Maaf, Zanet!Aku sungguh tak mengadukan rencana kalian,” belaku.
“Pintar sekali kau berkilah, Imah!Kau kira, kami tak tahu!Tadi pagi kau menemui Bu Susiah di kantor, kan?!” Debora ikut bicara.
“Dengarkan dulu, akan kujelaskan. Aku....”
“Kami tak perlu lagi penjelasanmu!Sudah sangat jelas semuanya!” Zahra memotong ucapanku, “aku sungguh kecewa padamu!”
“Tapi, ini kulakukan demi kebaikan kita, Zahra!” belaku.
“Kebaikan macam apa, maksudmu, hah?!” Teriak Zahra melotot.
“Valentine itu, bukan untuk kita, Zahra!”Teriakku.
Plakk!Tamparan keras dari Zahra, mendarat di pipiku. “Dasar sok suci!”
Sungguh tak kusangka, Zahra tega berbuat seperti itu. Perlahan air mata pun jatuh berlinang. Sesak dada menerima perlakuannya. Marah dan tak terima, berkecamuk menguasaiku. Tapi, takkan kubalas tamparannya. Hingga kemudian, Fiona datang dan  melerai kami.
“Apa-apaan kalian ini?!Sungguh memalukan!Kita ini teman sekelas, mengapa harus ada keributan?!” Fiona berada di tengah-tengah aku dan Zanet.
“Dia yang memulai duluan!” Zahra kembali menudingkan jarinya.
“Sudah-sudah!Kalian harus damai dan saling memaafkan. Imah...!” Sebelum Fiona melanjutkan kata-katanya, aku segera mengambil tas dan berlari meninggalkan kelas. Linangan air mata terus saja bercucuran sepanjang perjalanan pulang. Fiona berlari mengejar seraya berteriak-teriak memanggil. Namun, aku terus berlari dan meninggalkannya.
*****
Malam semakin larut, kucoba memejamkan mata rapat-rapat. Besok adalah hari Valentine, rencanaku mungkin gagal gara-gara persoalan tadi siang.
“Dasar tukang adu” kata-kata Zanet benar-benar memecah konsentrasi tidurku.
Masih tergambar jelas dalam benakku, betapa bersemangatnya teman-temanku merayakan Valentine dengan berbagai usulan acara. Debat kusir di sekolah kemarin siang, kembali terbayang. Waktu itu, suara gaduh di kelas XII Bahasa, tak membuatku mengalihkan pandangan dan konsentrasi untuk terus membaca buku.
“Kita ke pantai Serang saja, teman-teman,”  usul Debora.
“Bagaimana guys, setuju?” Zahra, menawarkan pendapat Debora.
“Saya tidak setuju!Musimnya tidak mendukung. Hampir setiap hari hujan!” tolak Zanet.
“Betul tuh, kata Zanet!” seru beberapa siswa. Suasana kelas pun gaduh.
“Ahaaa...!Ke Kampung Coklat!” seru Dina girang,” kita bisa menikmati aneka kue dan minuman coklat di sana, pasti lebih romantis,” lanjutnya.
“Bagaimana teman-teman?Setuju ke Kampung Coklat?” teriak Zahra.
“Hai, Fatimah!Dari tadi kamu cuek saja.Usul gitu, kek!” Zahra berjalan mendekat.
“Aku ingin ke perpustakaan atau mengerjakan tugas saja,” jawabku datar.
“Apa?!Gila bener ide loe. Ini perayaan Valentine Imah, bukan gerakan membaca!” kata Zahra ketus.
“Tapi kita sebagai umat Islam, tak boleh ikut merayakan, Zahra!” aku mengingatkan.
“Huuuuuu...!” Serempak seisi kelas mencibir. Aku tak peduli mereka memihak Zahra.
“Kita ini masyarakat plural Imah. Terpenting kita tidak berbaur dengan mereka yang melebih-lebihkan Valentinei.. Kita cukup bermain dan makan bersama. Habis gitu, tukar hadiah. Simple, kan?!” jelas Zanet.
Tetap saja. Bagiku tak boleh ada perayaan Valentine. Meskipun itu ditujukan kepada ibu sendiri. Sebagai pemimpin diskusi, Zahra memutuskan bahwa Valentine akan dirayakan di Kampung Coklat, usai asar hingga malam. Semua wajib hadir bersama pasangan. Bagi yang tidak mempunyai pasangan, bisa mengajak teman atau saudara.
*****
Tamparan keras Zahra, tatapan kebenciannya benar-benar membuatku sedih. Jika ingat hal itu, derai air mata pun deras mengalir. Salahkah apa yang telah kuperbuat?Padahal, aku hanya ingin membantu mereka terbebas dari tradisi Valentine. Detak jarum jam, kian keras bersuara.
“Dasar tukang adu!”
“Aku sungguh kecewa padamu!”
Kata-kata itu terngiang terus di telinga, meski kututup rapat-rapat, tapi suaranya malah semakin keras.
“Kau tampak sedih. Ada apa Fatimah?” suara tak asing, menyapaku.
Aku  menoleh. Terlihat Faisal berdiri tersenyum.
“Kulihat dari tadi, kamu murung terus. Apa ada masalah di sekolah?” tanya Faisal.
Aku diam. Terlihat rembulan mulai bersinar. Awan hitam yang menutupi, kini perlahan bergerak menjauh. Bintang pun bertebaran menghias malam. Rasanya aku sangat bahagia berada di dekat Faisal.
“Kamu kok, malah melamun lagi?” Faisal melangkah mendekat. Dan lebih dekat.
Debar jantungku kian kencang. Panas dingin di tubuh, seakan menjalar dari kaki hingga ujung rambut. Gemetar rasanya tubuhku ini berada di dekatnya.Apalagi melihat sinar teduh matanya. Bulan mengintip, mencibir iri melihat kedekatanku.
“Kkaa...kaaa--kaa..kamu mau ngapain, Faisal?” tanyaku gagap.
Aku tersentak. Sentuhan  halus meraba kening. Kubuka mataku perlahan.
“Badanmu panas. Kau sakit, Fatimah?” kulihat wajah kekhawatiran ibu.
“Sakit?!” gumamku heran.
Aku tak merasa pusing sama sekali. Hanya dingin sedikit kurasa. Mungkin panas badanku disebabkan kurang tidur dan pikiran kalut yang sangat mengganggu semalam. Yang penting jangan sampai ibu tahu, kalau aku baru saja memimpikan Faisal. Atau jangan-jangan, aku  rindu Faisal ya…
“Lho ada apa, kok malah senyum-senyum sendiri begitu, Imah?” tanya ibu menyelidik.
“Ehmmm...ehmmm… tidak apa-apa, Bu,” jawabku tersipu.
“Sebaiknya kau salat subuh dulu. Ibu siapkan sarapan, dan segeralah minum obat. Kalau sakit, jangan dipaksakan masuk. Nanti ibu buatkan surat ijin.”
“Iya, Bu, terimakasih” jawabku bergegas mengambil wudu. Kubuka jendela kamar. Rembulan masih setia bersinar hingga tiba fajar.
“Ternyata hanya mimpi...,” gumamku lirih lalu bergegas salat.
*****
Siang ini sungguh membosankan. Udara di luar panas menyengat. Tapi untunglah, panas badanku menurun. Usai melaksanakan salat zuhur dan makan siang, aku mencari-cari buku yang belum tuntas kubaca. Beberapa tempat kugeledahi, tapi tak jua ditemukan. Kulirik jam telah menunjukkan pukul dua.
“Assalamu’alaikum...!”
“Wa’alaikumsalam...!” jawabku keluar kamar dan membukakan pintu.
Bagai kemarau panjang disiram hujan semalam. Faisal datang mengejutkan. Dua hari aku tak bertemu dengannya.
“Aku tak mau kalau hanya bepergian berdua. Ini bukan karena merayakan Valentine, kan?!” tanyaku.
Faisal tersenyum. “Fiona dan Dina sudah menunggu di mobil. Memangnya mengapa sih, kamu suka khawatir kalau jalan sama aku?”
“Tidak apa-apa, aku hanya tak ingin ada….”
“Iya, aku mengerti dengan maksudmu, Imah,” Faisal menghentikan ucapanku.
“Tapi..., kamu harus ijin dulu kepada ibuku.”
“Siappp, Nona Imah!” ekspresi Faisal membuatku tertawa geli.
Ibu tadinya keberatan mengijinkanku pergi. Tapi setelah melihat aku sudah sehat, beliau pun merestui.
Sesampai di lokasi, Faisal segera memarkirkan mobilnya di samping perpustakaan Bung Karno. Hari itu, pengunjung tampak ramai.
“Ayo, kita segera masuk!” ajak Fiona.
“Assalamu’alaikum, Imah,” serentak Zahra, Debora, dan Zanet segera menyambutku di ruang baca. Seluruh siswa kelas XII Bahasa telah hadir juga di sana.
“Wa’alaikumsalam...lho, kalian tidak jadi ke Kampung Coklat?” tanyaku heran.
Mereka diam dan tampak saling memandang sebelum akhirnya mendekat.
“Imah, aku minta maaf telah menghina kamu waktu itu,” sesal Zanet.
“Aku sungguh berdosa, Imah. Aku tak sengaja menamparmu. Aku tak pantas menjadi temanmu lagi. Maafkan aku, Imah. Maafkan aku. Aku malu padamu. Malu dengan diriku sendiri,” isak Zahra seraya memelukku.
“Aku telah memaafkan kalian,” jawabku tersedu mengingat peristiwa itu. “Kalian adalah temanku, aku sayang kalian.” Air mataku bercucuran basahi pipi. Ya, air mata bahagia di hari Valentine.
“Ini bukumu, jatuh tertinggal di kelas,” Zahra menyodorkan buku kecil.
“Maaf, tanpa seijinmu, aku telah membaca buku ‘Enam Kerusakan di Hari Valentine bagi Umat Islam.’ Karena bukumu inilah, kini aku sadar akan larangan Valentine bagi kita. Aku minta maaf, Imah, tak sepantasnya aku kasar padamu. Kau gadis yang baik, aku telah menyakitimu,” tangis Zahra menjadi.  Kuhapus air matanya, kami berpelukan sangat erat. Teman-teman ikut terharu hingga menitikkan air mata.
“Assalamu’alaikum....” kehadiran Bu Susiah melepas pelukan kami.
“Wa’alaikumsalam…” jawab kami serempak.
“Alhamdulillah, kalian sudah baikan. Maaf ibu datang terlambat. Mari, kita mulai kegiatan sore ini dengan bacaan basmalah. Temukan buku bertema ‘Valentine’, baca dan pahami!Selanjutnya, buat cerpen bertema Valentin No, Writing Yes! Ibu akan memilih 50 cerpen terbaik untuk dibukukan dan juara 1-3 berhak mendapat hadiah spesial dari Ibu,” perintah Bu Susiah.
“Horeeee.”
Aku sangat bahagia. Teman-teman terhindar dari perayaaan Valentine yang jelas-jelas bukan milik Islam. Ternyata, ideku berhasil. Gerakan membaca yang kuusulkan ke Bu Susiah pagi itu, dikembangkan Zahra dikolaborasi gerakan menulis.
“Hari ini aku sungguh bahagia, semuanya telah kembali. Terimakasih, Faisal. Kamu, tidak mampir dulu?” Kubuka pintu mobil.
“Fatimah, tunggu sebentar.” Kuurungkan langkah. Jantungku berdebar, lama kami duduk terdiam. Aku mulai kikuk dengan keadaan. Malu dan gelisah berpadu.
“Fatimah, hari ini aku juga sangat bahagia bisa bersamamu.” Gemetar suara Faisal jelas terdengar. “Ketika siang, kumelihatmu di kelas. Pada malam hari, kulihat kau dalam mimpi. Aku tak tahu, rasa ini sekedar suka ataukah cinta. Jujur, sudah lama kupendam rasa ini. Aku merasa bahagia di sampingmu, rasanya tak ingin jauh darimu. Dua hari tak bertemu, rasa rindu  menyiksaku. Mungkin, aku telah jatuh cinta padamu. Bolehkah aku menjadi kekasihmu, Imah?” tanya Faisal berharap.
Aku tertunduk. Hatiku seolah menari di atas awan. Butir-butir kebahagiaan bertebar di relung. Kelu bibirku, bahagia dan haru bercampur aduk.
“Faisal, aku...aku...” jawabku terbata, “aku tak menyangka jika hatiku telah menawanmu. Tapi, aku tak mau, Valentine ini menjadi sejarah kita ke depannya. Karena Valentine, bukan milik kita. Maafkan aku belum bisa memberimu jawaban hari ini.”
“Aku mengerti, Imah. Maafkan aku. Aku akan sabar menunggu. Dan kau tak usah khawatir Imah, aku akan menjemputmu di waktu yang tepat nanti. Doaku, semoga kita dapat berjodoh untuk selamanya. Amiin. Mari, kuantar kau pulang sekalian pamit pada ibu.”

TAMAT

Wednesday, July 11, 2018

Kabur!

Kabuuur!
Karya  : Yayuk Amirotin


"Van, gerimis-gerimis begini kamu mau nekat juga?" tanya Faria bersandar di tempat tidur, matanya tidak mau lepas dari sang artis idola "Pernikahan Dini" yang pernah membuatnya mabuk kepayang.
"Cuman gerimis, gak apa-apa. Malah bikin suasana tambah romantis," jawab Vany menghibur dirinya.
"Tapi ini malam Jum'at, Van..." Faria mengingatkan.
"Mau malam Jum'at, Sabtu, Minggu, bagiku is oke," Vany melanjutkan bersolek di depan cermin rias. Dimonyong-monyongkan bibirnya yang seksi sambil mengerjab-ngerjabkan mata seolah menggoda Faria untuk ikut bersamanya.
"Tak usahlah kau seperti itu, lebih baik aku ngorok di rumah aja," Faria membalikkan badan membelakangi sahabatnya. Dipeluknya boneka panda raksasa erat-erat.
"Ayolah, sudah saatnya kita beraksi. Meraup jutaan rupiah dalam semalam," Vany mendekat, "Katamu, kau ingin segera punya mobil?" Vany terus saja merayu.
Karena rayuan Vany yang bertubi-tubi, maka berangkatlah keduanya dengan menghubungi ojek online. Tak lupa keduanya memakai parfum dan rok mini. Sepatu highill dan tas feminim melekat di pundak mereka.
Sesampai di tujuan, hanya beberapa pengunjung yang masih terlihat. Remang-remang lampu taman berpendar  di tengah arena pancuran air yang cukup luas. 
Gemericik pancuran menambah keheningan malam yang makin larut. Mobil-mobil yang berseliweran di depan taman kota berkurang. Bayang-bayang pohon besar penunggu taman tampak seram. Semilir angin dingin menerpa rambut Vany yang sedari tadi duduk menunggu di sebuah gazebo yang mulai usang. Berkali-kali ia melihat arloji mengkilat di pergelangan tangannya, hampir jam 12, yang ditunggu-tunggu tak juga datang.
Sementara Faria asyik bernyanyi dengan aplikasi smule di HP-nya. Di bawah pohon beringin besar, ia membuat oc lagu "Malanku yang Sepi."
Pett!Tiba-tiba lampu taman padam. Vany tersentak, sempat beberapa menit ia tertidur. Dilihatnya sekeliling tampak gelap.  Diraihnya HP di dalam tas, tak lama kemudian HP-nya berbunyi. Betapa girang hatinya, karena cowok yang dinanti-nantinya telah membalas melalui WA.
"Kutunggu dirimu di rumah, di ujung sebelah utara taman. Datanglah segera, sebelum datang pagi melahap malam..."
Tanpa membalas, Vany berjalan perlahan ke arah Utara. Dengan senter HP, ia menyusuri jalanan taman yang penuh rerumputan. Tampak sebuah rumah sederhana berdiri  di antara gundukan batu-batu. Cahaya lilin samar-samar menerangi ruang tamu yang hanya terdiri dari bangku sederhana dan meja kotor yang usang.
Perlahan Vany memasuki rumah itu, dilihatnya seorang perempuan cantik bergaun putih duduk membelakanginya. Rambutnya yang hitam panjang tergerai menutupi punggung.
"Aku sudah lama menunggumu di sini, Bang," kata wanita itu tanpa menoleh.
Vany ngeri juga mendengar sapaan wanita itu. Dengan hati-hati Fany duduk di bangku panjang yang entah berapa tahun usianya. Tak ada pemandangan yang menarik di ruangan itu.
"Aku ada janji dengan seorang cowok yang tadi siang menelepon, apakah rumahnya benar ini?" tanya Vany memberanikan diri.
"Hi hi hi...," wanita itu tertawa menyeramkan, "Benar, Bang. Inilah rumahnya," lanjutnya.
"Bisakah kau memanggilkan cowok itu?" Vany mulai merasa tidak nyaman.
"Tidak bisa, Bang. Karena, hanya akulah penunggu rumah ini. Aku pemiliknya!"
"Tapi, tadi seorang cowok yang meneleponku," Vany buru-buru berdiri dari tempat duduknya.
Seketika wanita yang membelakanginya menoleh, tampak wajah yang disangka Vany sangat cantik, berubah!Mata wanita itu menyala, wajahnya rusak dan tampak keriput. Matanya menatap tajam ke arah Vany.
Sambil berdiri gemetaran, tidak terasa sepatu dan rok mini yang ia kenakan basah oleh air kencing.
Wanita di hadapannya perlahan mendekati Vany, matanya masih menyala. Vany beringsut mundur beberapa langkah, tapi sial. Ia malah jatuh terperosok di antara bebatuan. Kakinya terjepit sesuatu.
"Jangan, jangan ganggu aku..." teriaknya ketakutan.
"Berhenti kau, jadi waria!Kalau tidak, akan kupatahkan kakimu sekarang juga!" kata wanita itu mengancam.
"Baik, baik. Mulai malam ini, aku akan pensiun dari pekerjaanku, " jawab Vany mencoba menarik kakinya dari wanita itu. 
Dengan tenaga yang tersisa, ia berhasil lari dari cengkeraman makhluk pengganggu itu. Vany lari terbirit-birit memanggil-manggil sahabatnya, Faria. Lelah ia berjalan mengitari taman, tapi tak jua ditemukannya si Faria.
"Ojek, Neng!" tiba-tiba seorang tukang becak melintas di hadapannya. Hatinya sedikit lega, setidaknya ia memiliki teman di malam selarut ini.
"Iya, becak. Anterin saya pulang, saya capek sekali!" kata Vany melemah.
Sesaat lamanya Vany tertidur di becak. Ia baru sadar ketika HP-nya berbunyi. Dibukanya sebuah pesan WA, "Rumahmu di mana, Abang capek mengayuh becak terus."
Vany tersentak. Ia merasa ada sesuatu yang janggal dari Abang becak. Darimana ia tahu nomor HPnya. Vany memberanikan diri menoleh, betapa terkejutnya dia karena tiba-tiba seorang wanita menyeramkan yang mengganggunya tadi telah duduk tertawa-tawa di belakangnya. Berkali-kali Vany meminta berhenti, tetapi becak berjalan semakin kencang, hingga tibalah ia di sebuah pemakaman luas.
Becak itu terhenti tepat di depan pintu makam, buru-buru Vany turun. Dilihatnya wanita tadi sudah tidak duduk di kursi belakang, Vany segera berlari sekuat tenaga menjauhi tempat angker itu. Sempat ia menoleh, wanita menyeramkan itu berdiri melambai-lambaikan tangan tanda perpisahan.
Vany tiba di rumah tepat azan subuh.. Diceritakannya tragedi malam itu ke Faria sahabatnya. Faria tersenyum geli mendengarnya.
"Makanya, sekarang berhenti jadi waria!" ejeknya.
"Iya, mulai malam itu aku akan pensiun. Aku mau jadi lelaki sesungguhnya," jawab Vany seraya memotong rambutnya yang panjang.